BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Unsur lain dari Demokrasi adalah adanya pembagian kekuasaan dan kewenangan
pemerintahan. Tuntutan pengelolaan pemerintah daerah yang mandiri dengan
semangat Otonomi Daerah ( OTODA ) semakin marak , namun demikian kebijakan
OTODA banyak disalahartikan, seperti kebebasan mengelola sumber daya daerah
yang cendrung melahirkan pemerintahan daerah yang tidak profesional dan tidak
terkontrol.
Dengan mempelajari bab ini yakni “ Otonomi Daerah Dalam Kerangka NKRI ”
diharapkan kita sebagai komponen dari pemerintahan bisa tahu apa, dan bagiamana
bentuk dari otonomi daerah yang sebenarnya, sehingga kita bisa menilai dan
memberi kritik serta pengawasan atas pelaksanaan OTODA yang mungkin menyalahi
pada tujuan utamanya .
B. Rumusan
Masalah
Rumusan Masalah dalam makalah ini akan mengulas hal-hal mengenai “ Otonomi
Daerah Dalam Kerangka NKRI“ adapun rumusannya adalah sebagi berikut:
1. Apakah Hakikat Otonomi Daerah
2. Pembagian kewenangan antara pemerintah daerah dan pemerintrah pusat
3. Keterkaitan antara otonomi daerah dan pemilihan kepala daerah
4. Bagimana pelaksanaan Otonomi Daerah dalam NKRI
C. Tujuan
Penulisan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakikat
Otonomi daerah
1.
Pengertian Otonomi Daerah
Otonomi Daerah sering disamakan dengan kata Desentralisasi karena biarpun
secara teori terpisah namun dalam praktiknya keduanya sukar dipisahkan. Desentralisasi
pada dasarnya mempersoalkan pembagian kewenangan kepada organ-organ
penyelenggara negara, sedang Otonomi Daerah menyangkut hak yang mengikuti
Pembagian Wewenang ( desentralisasi ) tersebut. Perserikatan Bangsa – bangsa
mendefinisikan Desentralisasi adalah Pelimpahan wewenang dari pemerintah
pusat yang berada di ibukota, melalui cara Dekonsentrasi (misalnya
pendelegasian kepada pejabat dibawahnya maupun pendelegasian kepada pemerintah
atau perwakilan daerah.
Sedang Otonomi Daerah yang merupan salah satu wujud desentralisasi,
memiliki arti sempit Otonomi = Mandiri , sedang dalam arti luas Otonomi
Daerah adalah kemandirian suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan
pengambilan keputusan keputusan mngenai kepentingan daerahnya sendiri..
The ling Gie menyebutkan ada Beberapa alasan Ideal dan filosofis
diseleng- garakannya Desentralisasi pada pemerintahan daerah ( otonomi daerah )
yaitu :
1. Mencegah penumpukan kekuasaan yang pada akhirnya menyebabkan tirani.
2. Sebagai tindakan pendemokrasian, melatih rakyat ikut serta dala
pemerintahan dan melatih dalam menggunakan hak-hak dalam berdemokrasi.
3. Mencapai pemerintahan yang efisein, Kebijakan yang sesuai dengan daerah
setempat.
4. Untuk ada perhatian berlebih dan khusus dalam menjaga serta
memperthanakan kultur, ciri khas suatu daerah, baik itu segi geografis,
ekonomi, kebudayaan dan latar belakang sejarah.
5. Agar kepala daerah dapat secara langsung melakukan pembangunan di daerah
tersbut.
Sedang secara Teori Empirik dan keilmuan Desentraslisasi Otonomi
Daerah di lakukan berdasarkan argument :
1. Untuk terciptanya efisiensi dan efectifitas penyelenggaraan
pemerintahan.
2. Sebagai sarana pendidikan politik ; pemerintah daerah merupakan kancah
pelatihan dan pengembangan demokrasi dalam sebuah negara.John Smirt mengatakan;
”pemerintah daerah akan menyediakan kesemptan bagi masyarakat untuk
berpartisaipasi politik, baik dalam rangka memilih atau di pilih dalam suatu
jabatan politik”.
3. Pemerintah daerah merupkan persiapan karir bagi politik lanjutan,
keberadaaan wahana institusi lokal terutama bagian Ekskutif dan legeslatif,
menjadi wahana untuk menapak karir politik yang lebih tinggi.
4. Stabilitas Politik; adanya berbagai pergolakan kerusuhan yang bertujuan
memisahkan diri dengan NKRI, membuat ketidaksetabilan politik ingin membuat
suatu pemerintahan yang mandiri , merupakan wujud ketidak puasan daerah
terhadap perintah pusat. Terutama dalam pemerataan pembangunan dsb, sehingg di
harapkan dengan otonomi daerah masyarakt daerah bisa lebih leluasa dalam
melakukan pembangunan, dan pengelolaan daerahnya sendiri.
5. Kesetraan politik ; masyrakat di tingkat lokal maupun di pusat
pemerintha memiliki hak politik yang sama. Yang bisa terlihat dalam pemilihan
kepla daerah.
6. Akuntabilitas Publik ; masyarakat lebih mudah dalam melakukuan
pengawasan terhadap pemerintah terutama permintahan yang berjalan di daerah
masing masing.
2. Visi dari
Otonomi Daerah
Visi Otonomi
daerah di rumuskan dalam Tiga ruang lingkup ;
1. Politik ; otonomi daerah harus dipahami sebagai sebuah proses untuk
membuka ruang bagi lahirnya kepala pemerintahan daerah yang di pilih secara
Demokratis.
2. Ekonomi ; otonomi daerah harus bisa menjamin lancarnya pelaksanaan
kebijakan ekonomi nasional dan daerah. Serta mendorong pemrintah daerah untuk
mengembangkan kebijakan lokal untuk memberdayakan poytensi ekonomi di
daerahnya.
3. Sosial budaya ; otonomi daerah di arahkan pada memelihara dan
mengembangkan nilai, tradisi, karya seni, karya cipta, bahasa yang kondusif dan
dapat mendorong masyarakat untuk merspon positif dinamika sosial yang ada
disekitar dan kehidupan global.
3. konsep
otonomi daerah
Untuk merealisasikan visi tersebut di atas di perlukan konsep otonomi
daerah yakni :
1. Penyerahan sebanyak mungkin kewenangan pemerintah dalam hubungan
domestik kepada daerah. Kecuali urusan moneter politik luar negeri , peradilan,
pertahanan, serta bidang kebijkan yang bersifat strategis.
2. Penguatan peran DPRD sebagai wujud representatif rakyat lokal dalam
memilih dan menetapkan kepala daerah.
3. Pembangunan trdisi politik yang lebih sesui dengan kultur budaya, guna
terciptanya pemerintah daerah yang berkualitas dan berakseptabilitas yang
tinggi.
4. Peningkatan efektifitas pelayanan eksekutif melalui pembenahan
oragnisasi dan institusi yang dimiliki.
5. Peningkatan efisiensi administrasi keuangan daerah serta pengaturan yang
lebih jelas atas pendapatan – pendapatan pendapatan asli daerah.
6. Peperwujudan desntralisasi fiskal dari pemerintah pusat yang bersifat
alokasi subsidi berentuk Block Gran ( pengaturan pembgaian sumber daya
asli daerah, pemberian keleluasaan daerah untuk menetapkan priorotas
pembangunan, optmalisasi pemberdayaan masyarakat )
4. Bentuk
dan tujuan desntralisasi dalam konteks Otonomi Daerah ( menurut Rondinelli )
1. Dekonsentrasi ; pergeseran volume pekerjaan dari departemen pusat kepada
perwakilan perwakilan yang ada di daerah. Tanpa ada kewengan mengambil
keputusan, Berupa transfer kewajiban & bantuan keuangan dari pusat hingga
sampai pada level paling bawah yakni kabupaten.
2. Delegasi; pelimpahan pengambilan keputusan dan kewenangan menegerial
kepada suatu organisasi yang secara langsung tidak berada di bawah pengawasan
pemerintah pusat. Biasanya dilakukan pada BUMN yang di tugaskan melaksanakan
proyek tertentu misal : telekomunikasi, listrik, bendungan, air minum, jalan
raya.
3. Devolusi ; kondisi dimana pemerintah pusat membentuk unit unit
pemerintahan diluar pemerintah pusat dengan menyerahkan sebagian fungsi-fungsi
tertentu untuk di laskanakan secara mandiri. Ini adalah bentuk disentralisasi yang
paling Ideal. contoh ; transfer kewenangan ( tindakn dan tanggung jawab ) di
sudan dari pemerintah pusat ke pada komisi propinsi dan DPRD propinsi yang
memiliki seluruh fungsi publik kecuali keamanan nasional, pos komuinikasi
urusan luar negeri, peradilan dan perbankan.
4. Privatisasi ; suatu tindakan pemberian kewenangan dari pemerintah pusat
kepada badan-badan sukarela, swasta dan swadaya masyarakat. Contoh : pemerintah
mentransfer kewenagan kepada Kamar Dagang dan industri, koprasi, dan asosiasi
lainnya untuk mengeluarkan izin-izin, bimbingan , pengawasan, yang mana semula
itu semua di lakukan oleh pemerintah.
5. Tugas pembantuan (madebewind) ; pemberian kemungkinan dari pemerintahan
yang lebih tinggi, untuk meminta bantuan kepada pemerintahan yang lebih rendah
tingkatannya. Agar menyelenggarakan tugas dari pemerintah daerah yang lebih
tinggi tadi. Pemerintahaan tingkat bawah hanya berweanagn mengurusi, sedang
dalam hal pengaturan dan keputusan tetap berada di tangan pemerintahan yang
lebih tinggi. contoh ; penditribusian bantuan tabung gas. Bantuan lkangsung
tunai BLT.
5.
Perbandingan Desntralisasi di Neraga Kesatuan dan Negara Federal
Menurut Eko Prasojo ; bahwa pembgaian negara berdasar pembagian kekuasaan
trdiri dari Negara Federal dan Negara Kesatuan
PERBEDAAN
DESENTRALISASI
|
Negara federal
|
Negara kesatuan
|
karakter dasar
|
Ada
kedaulatan, ( karena merupakan setruktur asli )
|
tak ada kedaulatan
|
Proses pembentukan
|
Struktur
asli, sudah ada sebelum negara federal terbentuk
|
Pemrintah pusat berdasar UU
|
Hubungan antar pusat
dan regional
|
Koordinatif
|
Sub ordinatif
|
Derajat kemandiarian
|
Sangat
besar karena di jamin oleh konstitusi negara federal
|
Sangat terbatas
|
Dalam pembahasan sistem federal dikenal pembagian kekuasaan dan kewenangan
secara vertikal antara negara bagian dan federal. Sovereihgnaritas (
kedaulatan ) dalam negara federal lazimnya di definisikan sebagai kempetensi
dan bukan sebagai kekuasaan tertinggi atau bahkan sebagai kedaulatan awal
negara bagian. Jadi dalam neraga.fedral tak terjadi dual Sovereighnty
( kadaulatan ganda ). Antara pemerintah Negara Bagian dan Negara Federal.
Dalam persepektif teori negara federal dualistis (Dualistiche bundesstaatch
teorie ) kepemilikan bersama kadaulatan antara negara bagian dan federal
bukanlah hal yang mustahil. Dimana federal memiliki kedaulatan terhadap
kekuasaan yang di atur dalan konstitusi ( kerjasama antar negara, pembentukan
undang undang, pertahanan negra dll ). dan negara bagian memiliki kedaulatan
terhadap semua kekuasaan dan kewenangan yang tidak tertulis dalam konstitusi (
penataan tata ruang kota, mengelola pajak asli daerah dll ).
B. Sejarah pelaksanaan Otonomi Daerah Indonesia
Peraturan pertama kali yang mengurusi tentang pemerintahan daerah pasca
proklamasi kemerdekaan adalah UU Nomer 1 tahun 1945. Di tetapkannya
undang undang ini merupakan hasil dari pertimbangan sejarah pemerintahan
dimasa-masa kerajaan serta pada masa pemerintahan kolnialisme.. dalam UU ini di
tetapkan 3 jenis daerah otonom yaitu ; Karisidenan, Kabupaten, Kota dan
kurang lebih 3 tahu UU Nomer 1 tahun 1945 ini di ganti dengan Undang Udang
Nomer 22 Tahun 1948.
Undang Undang Nomer 22 Tahun 1948 Yang berfokus pada susunan
pemerintahan daerah yang Demokratis. Yakni berupa ditetapkanya 2 (dua) jenis
daerah otonom yaitu; Otonomi biasa dan Otonomi Istimewa,
serta 3 tingkatan daerah otonomi yakni Propinsi, kabupaten/kota
besar dan desa / kota kecil. Masa berlaku Undang Undang Nomer 22
Tahun 1948 ini berakhir dengan disahkannya Undang – Undang Nomer 1 tahun
1957.
Undang – Undang Nomer 1 tahun 1957 adalah pengaturan tunggal yang berlaku
secara seragam di seluruh Indonesia. Perjalanan sejarah otonomi daerah di
Indonesia selalu ditandai dengan lahirnya suatu perundang-undangan yang
menggantikan produk sebelumnya. Pergantian UU no.5 tahun 1974 menjadi UU no.22
tahun 1999 adalah adanya perubahan mendasar pada format otonomi daerah dan
substansi desentralisasi.
Prinsip yang dipakai dalam pemberian otonomi kepada daerah bukan lagi
“otonomi yang riil dan seluas-luasnya” tetapi “otonomi yang nyata dan
bertanggung jawab” alasannya, pandangan otonomi daerah yang seluas-luasnya
dapat menimbulkan kecenderungan pemikiran yang dapat membahayakan keutuhan NKRI
dan tidak serasi dengan maksud dan tujuan pemberian otonomi kepada daerah
sesuai dengan prinsip-prinsip GBHN yang berorientasi pada pembangunan dalam
arti luas.
C. Prinsip
pelaksanaan Otonomi Daerah
Prinsip-prinsip pemberian otonomi
daerah yang dijadikan pedoman dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah
sebagai berikut :
1.
Penyelenggaraan Otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek
demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman daerah.
2. Pelaksanaan
Otonomi Daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata, dan bertanggung jawab.
3.
Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten
dan daerah kota, sedang pada daerah provinsi merupakan otonomi yang terbatas.
4. Pelaksanaan
Otonomi Daerah harus sesuai dengan konstitusi negara.
5.
Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom,
dan karenanya dalam daerah kabupaten dan kota tidak ada lagi wilayah
administrasi.
6.
Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan
legeslatif daerah, baik fungsi legeslatif, fungsi pengawasan maupun fungsi
anggaran atas penyelenggaraan pemerintahan daerah.
7.
Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan didaerah provinsi dalam kedudukannya
sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintahan
tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah.
8.
Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari pemerintah
kepada daerah, tetapi juga dari pemerintah dan daerah kepada desa yang disertai
dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta SDM dengan kewajiban melaporkan
pelaksanaan dan mempertanggung jawabkan kepada yang menugaskan.
D. Pembagian
kewenangan pemerintah daerah & pemerintah pusat
1. Kesalahpahaman
terhadap Otonomi Daerah,
Beberapa
salah paham yang muncul dari berbagai kelompok masyarakat terkait dengan
kebijakan dan implementasi otonomi daerah sebagai berikut, :
a. Otonomi
dikaitkan semata-mata dengan uang. yaitu untuk berotonomi harus mencukupi
sendiri segala kebutuhannya, terutama dalam bidang keuangan. Hal itu muncul
karena ada ungkapan yang dimunculkan oleh J. Wayong, pada tahun 1950-an bahwa “Otonomi
identik dengan Otomoney”. Kata kunci dari Otonomi adalah “kewenangan”.
Dengan kewenangan uang akan dapat dicari, dan dengan uang itu pula pemerintah,
termasuk pemerintah daerah, harus mampu menggunakan uang dengan bijaksana,
tepat guna dan berorientasi pada kepentingan masyarakat.
b. Daerah
belum siap dan belum mampu. Munculnya pandangan merupakan cara pikir yang
salah. Karena Pemerintah Daerah sudah terlibat dalam penyelenggaraan
pemerintahan dalam waktu yang sudah lama dan berpengalaman dalam administrasi
pemerintahan.
c. Dengan
otonomi daerah maka pusat akan melepaskan tanggung jawabnya untuk membantu dan
membina daerah. Pendapat itu sama sekali tidak benar. Otonomi daerah dalam UU
No. 32 tahun 2004 menganut falsafah yang sudah sangat terkenal diberbagai
negara, yaitu “No man date without funding”. Artinya setiap pemberian kewenangan
dari pemerintah pusat kepada daerah harus disertai dengan dana yang jelas dan
cukup apakah itu berbentuk Dana Alokasi Umum, ataupun Dana Alokasi Khusus.
2. Otonomi
Daerah dan pembangunan daerah
Otonomi Daerah sebagai komitmen dan kebijakan politik nasional merupakan
langkah strategi yang diharapkan akan mempercepat pertumbuhan dan pembangunan
Daerah, disamping menciptakan keseimbangan pembangunan antar daerah di
Indonesia.
Pembangunan didaerah, baru akan berjalan kalau sejumlah prasarat dapat
dipenuhi, terutama oleh para penyelenggara pemerintahan didaerah, yaitu pihak
legislatif (DPRD, Propinsi, Kabupaten dan Kota) dan eksekutif didaerah
(Gubernur, Bupati dan Walikota).
Prakondisi yang diharapkan dari Pemerintahan Daerah:
1. Fasilitas (memfasilitasi bentuk kegiatan didaerah dalam bidang ekonomi)
2. Pemerintahan daerah harus kreatif
3. Politik lokal yang stabil
4. Pemerintahan Daerah harus menjamin kesinambungan berusaha
5. Pemerintahan Daerah harus komunikatif dengan LSM, terutama dalam bidang
perburuhan dan lingkungan hidup.
3. Kaitan
otonomi daerah dengan PEMILUKADA
PILKADA langsung di laksanakan berdasarkan (UU no. 32 tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah ) yang merupakan hasil revisi dari UU no. 22 tahun 1999).
Legitimasi adalah komitmen untuk mewujudkan nilai-nilai dan norma-norma yang
berdimensi hukum, moral dan sosial.
a. Azas yang berlaku dalam pemilu:
1) Langsung (tanpa perantara)
2) Umum (menjamin kesempatan yang berlaku meyeluruh bagi semua warga
negara, tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, rasi, golongan, jenis
kelamin, kedaerahan, pekerjaan, status sosial)
3) Bebas (pemilihan tanpa tekanan dan paksaan)
4) Rahasia (dijamin dan dipilih tidak akan diketahui oleh pihak manapun dan
dengan jalan apapun)
5) Jujur (sesuai dengan peraturan perundangan-undangan)
6) Adil (mendapat perlakuan yang sama.
b. Argumen PILKADA langsung terakit dengan kedaulatan rakyat:
1) Rakyat secara langsung dapat menggunakan hak-haknya secara utuh.
2) Wujud nyata atas pertanggung jawaban dan akuntabilitas
3) Menciptakan suasana kondusif bagi terciptanya hubungan sinegis antara
pemerinyahan dan rakyat.
c. Efektivitas PILKADA
PILKADA tidak menjamin peningkatan kualitas demokrasi dengan sendiri namun
Demokrasi membutuhkan persyaratan. Efektifitas PILKADA yang ditentukan oleh
beberapa factor yakni: (1)kualitas pemilih, (2)kualitas dewan,
(3) sistem rekrutmen dewan, (4) fungsi partai, (5)kebebasan
serta konsistensi pers dan terakir (5) pemberdayaan
masyarakat madani.
Hipotesis untuk menguji efektivitas PILKADA:
1) Seamakin buruk prakondisi semakin besar efektivitas pemilih langsung
kepala daerah.
2) semakin baik prakondisi, semakin kecil efektivitas pemilihan langsung
kepala daerah.
Hubungan Antar Prakondisi Demokrasi dan Efektivitas PILKADA Langsung.
Bersifat timbal balik, artinya apabila prakondisi demokrasinya buruk maka
pemilihan langsung kepala daerah kurang efektif dalam peningkatan demokrasi.
Kelemahan PILKADA langsung:
1. Dana yang
dibutuhkan besar
2. Membuka
kemungkinan konflik elite dan massa
3. Aktifitas
rakyat terganggu
Kelebihan PILKADA langsung:
1. Kepala daerah yang terpilih akan memiliki mandat dan legitimasi yang
kuat
2. Kepala daerah yang terpilih tidak perlu terikat pada konsesi
partai-partai/fraksi-fraksi politik yang telah mencalonkannya.
3. Sistem ini lebih akutabel dan adanya akuntabilitas public
4. Checks and balances antara lembaga legislatif dan eksekutif dapat lebih
seimbang
5. Kriteria calon kepala dinas dapat dinilai secara langsung oleh rakyat
yang akan memberikan suaranya
6. Sebagai wadah pendidikan politik rakyat
7. Akan ada pelatihan dan pengembangan demokrasi
8. PILKADA langsung sebagai persiapan untuk karier politik rakyat lanjutan
9. Membangun politik
10. Mencegah konsentrasi kekuasaan dipusat
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Setelah
mempelajari uraian tentang pelaksanaan otonomi da erah di atas maka kami dapat
menyimpulkan :
1. Hakikat Otonomi Daerah adalah kemandirian suatu daerah dalam kaitan
pembuatan dan pengambilan keputusan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri.
2. Pembagian kewenangan antara pemerintah daerah dan pemerintrah pusat
harus berlandaskan pada pemikiran bahwa Otonomi Daerah sebagai komitmen dan
kebijakan politik nasional merupakan langkah strategi yang diharapkan akan
mempercepat pertumbuhan dan pembangunan Daerah, disamping menciptakan
keseimbangan pembangunan antar daerah di Indonesia.
3. Keterkaitan antara otonomi daerah dan pemilihan kepala daerah. Adalah
Bersifat timbal balik, artinya apabila prakondisi Otonomi daerah sebagai wujud
demokrasinya buruk maka pemilihan langsung kepala daerah kurang efektif dalam
peningkatan demokrasi. persyaratan. Efektifitas PILKADA ditentukan oleh
faktor-faktor: kualitas pemilih, kualitas dewan, sistem rekrutmen dewan, fungsi
partai, kebebasan dan konsistensi pers dan pemberdayaan masyarakat madani
4. pelaksanaan Otonomi Daerah dalam
NKRI, yang berprinsip bahwa pemberian otonomi kepada daerah bukan lagi “otonomi
yang riil dan seluas-luasnya” tetapi “otonomi yang nyata dan bertanggung jawab”
harus benar-benar di laksanakan dan di wujudkan tidak berhenti pada teori saja
karena dengan demikian tujuan negara untuk memakmurkan seluruh rakyat bisa
tercapi.
B. SARAN-SARAN
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah,
Rozali.2001. Pelaksanaan Otonomi Luas. Jakarta:Rajawali.
Croissant,
Aurel.2003. “Pendahuluam” Politik Pemilu di Asia Tenggara dan Asia Timur,Jakarta
: pensil 324 dan Fredrich Ebert Stiftung, oktober.
Dwiyanto,Agus.2005.
Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik, Yogyakarta :
JICA-UGM.
Koswara,E.2001.Otonomi
Daerahuntuk demokrasidan kemandirian rakyat, Jakarta:Yayasan Fariba.
Muluk,M.R.Khairul.
2005.Desentralisasi Dan Pemerintahan Daerah, Malang:Bayu Media.
UU No. 22
tahun 1999 tentang penyelenggaraa pemerintah daerah.
UU No. 25
tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintaha pusat dan pemerintah
daerah.
Yudhoyono,
Bambang.2001,Otonomi Daerah. Jakarta: Sinar Harapan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar