KATA PENGANTAR
Segala puji bagi allah SWT yang
telah memberikan nikmat Iman dan Islam kepada kita semua, sehingga kita dapat
berkumpul dalam pertemuan yang Insya Allah dimuliakan oleh Nya.
Shalawat dan Salam semoga tetap
terlimpah curah kepada junjunan kita Nabi Muhammad SAW. Kepada para sahabatnya
para Tabi’it Tabi’innya dan semoga kepada kita selaku ummatnya mendapatkan
syafa’atul udzma di Yaumil Jaza. Amin
Sebelumnya kami mengucapkan banyak
terima kasih kepada bapak Shalahudin Sirezar .Lc selaku dosen yang telah
memberikan kami kesempatan menjelaskan Al-Qur’an sebagai sebagai sumber hukum
Islam yang pertama. Suatu kebanggaan bagi kami yang telah diberi kepercayaan
oleh bapak pengampu untuk menjelaskan hal tersebut.
Maka dari itu, kami sebagai pihak
yang diberkan tugas, mencoba memaparkan beberapa ilmu yang kami ambil dari
beberapa sumber, dalam bentuk makalah yang akan kami presentasikan ini.
Dalam makalah ini terdapat beberapa
pelajaran penting yang wajib diketahui oleh kami khususnya dan mahasiswa pada
umumnya. Diantara materi yang akan kami bahas diantaranya : Pengertian Al –
Qur’an, Kehujjahan Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum Islam yang Utama,
Penjelasan Al-Qur’an Terhadap Hukum dan Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum, Sistematika
Hukum Dalam Al-Qur’an Sekian dari kami, mohon maaf bila terdapat kesalahan baik
dalam segi penulisan maupun dalam redaksi. Kritik dan saran sangat kami
harapkan. Billahi fi Sabililhaq Pastabiqul Khairot.
22-April-2012
P
E N U L I S
DAFTAR ISI
HALAMAN
PERSEMBAHAN
...................................................................................................... o
Kata
Pengantar
................................................................................................................................. 1
Daftar
Isi
.......................................................................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................................................ 3
B. Rumusan Masalah
........................................................................................................... 4
C. Tujuan Penulisan
............................................................................................................. 5
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian Al-Qur’an 6
B.
Kehujjahan Al-Qur’an Sebagai
Sumber Hukum Islam Yang Utama. 11
C.
Petunjuk (Dilalah)
Al-Qur’an 12
D.
Penjelasan Al-Qur’an Terhadap
Hukum Dan Alqur’an Sebagai Sumber Hukum. 13
E.
Sistematika Hukum Dalam
Al-Qur’an 14
BAB
III PENUTUP
A.
Komintar ............................................................................................................. 15
B.
Saran-Saran
............................................................................................................ 15
DAFTAR PUSTAKA
................................................................................................................... 16
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan
sumber hukum dalam Islam. Kata sumber dalam artian ini hanya dapat digunakan
untuk Al-Qur’an maupun sunnah, karena memang keduanya merupakan wadah yang
dapat ditimba hukum syara’, tetapi tidak mungkin kata ini digunakan untuk ijma’
dan qiyas karena memang keduanya merupakan wadah yang dapat dotimba norma
hukum. Ijma’ dan qiyas juga termasuk cara dalam menemukan hukum. Sedangkan
dalil adalah bukti yang melengkapi atau memberi petunjuk dalam Al-Qur’an untuk
menemukan hukum Allah, yaitu larangan atau perintah Allah.
Apabila terdapat suatu
kejadian, maka pertama kali yang harus dicari sumber hukum dalam Al-Qur’an
seperti macam-macam hukum di bawah ini yang terkandung dalam Al-Qur’an, yaitu:
1.
Hukum-hukum akidah (keimanan) yang bersangkut paut dengan
hal-hal yang harus dipercaya oleh setiap mukallaf mengenai malaikatNya,
kitabNya, para rasulNya, dan hari kemudian (Doktrin Aqoid).
2.
Hukum-hukum Allah yang bersangkut paut dengan hal-hal
yang harus dijadikan perhiasan oleh setiap mukallaf berupa hal-hal keutamaan
dan menghindarkan diri dari hal kehinaan (Doktrin Akhlak).
3.
Hukum-hukum amaliah yang bersangkut paut dengan tindakan
setiap mukallaf, meliputi masalahucapan perbuatan akad (Contract) dan
pembelanjaan pengelolaan harta benda, ibadah, muamalah dan lain-lain.
Untuk mengetahui lebih
jauh penulis mencoba membahasnya dengan sebuah makalah yang berjudul “AL-QUR’AN
SEBAGAI SUMBER HUKUM UTAMA”.
B.
Rumusan Masaah
1.
Apa yang di maksud Al-Qur’an ?
2.
Apakah semua Ulama’ sepakat terhadap kehujjahan Al-Qur’an
?
3.
Apa yang di maksud dilalah Qoth’I dan Zhanni
didalam al-qur’an ?
4.
Bagaimanakah itu Al-Qur’an menjelaskan Terhadap Hukum Dan
Alqur’an Sebagai Sumber Hukum ?
5.
Bagaimana Sistematika Hukum Didalam Al-Qur’an ?
C.
TUJUAN PENULISAN
Tentunya kami sebagai penulis makalah ini
mempunyai tujuan terkait dengan rumusan masalah, yang dengan tujuan tersebut
kita dapat mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, tujuannya adalah:
1.
Supaya
penulis dan pembaca dapat mengetahui tentang Al-Qur’an.
2.
Supaya
penulis dan pembaca bisa mengetahui terhadap argumin tentang Al-Qur’an sebagai
sumber yang Utama.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Al-Qur’an
v
Secara Bahasa (Etimologi)
Merupakan bentuk mashdar (kata benda) dari kata kerja
Qoro-’a (قرأ)
yang bermakna membaca atau baca’an, seperti terdapat dalam surat Al-Qiamah (75)
: 17-18 :
ان عليناجمعه وقرانه فاداقراناه فتبع قراناه ( القيمة : 17-18 )
Artinya:
“sesungguhnya
tangguangan kamilah mengumpulkannya (didadamu) dan (membuatmu pandai ) membacanya.
Apabila kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaannya itu.”
(Al-Qiamah : 17-18).
v
Secara Istilah (Terminologi)
Adapun difinisi
alqur’an secara istilah menurut sebagian ulamak ushul fiqih adalah:
كلام الله تعالى المنزل على محمد صلى الله عليه وسلم باللفظ
العربي المنقول الينا بالتواترالمكتوب بالمصاحف المتعبدبتلاوته المبدوء بالفاتحة
والمختوم بسورة الناس
Artinya:
“Kalam Allah ta’ala yang diturunkan kepada
Rasul dan penutup para Nabi-Nya, Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam,
diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Naas.
Dari devinisi tersebut, para ulama menafsirkan
Al Qur’an dengan beberapa variasi pendapat yang dapat kami simpulkan menurut
beberapa ulama Ushul Fiqh :[1]
1. Al-Qur’an
merupakan kalam allah yang diturunkan kepada Nabi Muahmmad SAW. dengan
demikian, apabila tidak diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, tidak dinamakan
dengan Al-Qur’an. Seperti diantaranya wahyu yang allah turunkan kepada Nabi
Ibrahim (zabur) Ismail (taurat) Isa (injil). Memang hal tersebut diatas memang
kalamullah, tetapi dikarebakan diturunkan bukan kepada nabi Muhammad saw, maka
tidak dapat disebut alqur’an.
2. Bahasa Al-Qur’an
adalah bahasa arab qurasiy. Seperti ditunjukan dalam beberapa ayat Al-Qur’an,
antara lain : QS. As-Syuara : 192-195, Yusuf : 2 AZzumar : 28 An- NAhl 103 dan
ibrahim : 4 maka para ulama sepakat bahwa penafsiran dan terjemahan Alqur’an tidak
dinamakan Alquran serta tidak bernilai ibadah membacanya. Dan tidak Sah Shalat dengan
hanya membaca tafsir atau terjemahan alquran, sekalipun ulma’ hanafi
membolehkan Shalat dengan bahasa farsi (Selain Arab), tetapi kebolehan ini
hanya bersifat rukhsoh (keringanan hukum).
3. Al-Quran
dinukilkan kepada beberapa generasi sesudahnya secara mutawattir tanpa
perubahan dan penggantian satu kata pun (Al-Bukhori : 24)
4. Membaca setiap
kata dalam alquran mendapatkan pahala dari Allah baik berasal dari bacaan
sendiri (Hafalan) maupun dibaca langsung dari mushaf alquran.
5. Al-Qur’an
dimulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas, tata urutan
surat yag terdapat dalam Al-Qur’an, disusun sesuai dengan petunjuk Allah melalui
malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. tidak boleh diubah dan digamti
letaknya. Dengan demikian doa doa, yang biasanya ditambahkan di akhirnya dengan
Al-Qur’an dan itu tidak termasuk katagori Al-Qur’an.
Di dalam buku Ushul
Fiqih, Prof. DR. Amir Syarifudin, Penerbit Zikrul Hakim. Hal: 18. Bahwa Al-Qur’an itu:
Kalamullah yang
diturunkannya perantara’an Malaikat Jibril kedalam hati Rosulullah Muhammad
Ibnu Abdulah dengan bahasa Arab dan makna-maknanya benar supaya menjadi bukti
bagi Rosul tentang kebenaranya sebagai Rosul,
menjadi aturan bagi manusia yang menjadikannya sebagai petunjuk, dipandang beribadah
membacanya, dan ia di bukukan di antara dua kulit mushaf, di awali dengan surah
al-fatihah dan di akhiri dengan surat an-nas, di sampaikan kepada kita secara
mutawatir baik secara tertulis maupun hafalan dari generasi kegenerasi dan
terpelihara dari segala perubahan dan pergantian sejalan dengan kebenaran
jaminan allah saw. Dalam surat al-hijr, ayat 9: “sesungguhnya kamilah yang
menurunkan Al-Qur’an , dan sesungguhnya kami benar benar memeliharanya.
Ø Dari difinisi
di atas ada beberapa hal yang dapat di pahami di antaranya:
1.
Lafal dan maknanya langsung berasal dari allah sehingga
segala sesuatu yang di ilhamkan allah kepada nabi bukan di sebut al-qur’an,
melainkan di namakan hadits.
2.
Tafsiran surat atau ayat Al-Qur’an yang ber bahasa Arab,
meskipun mirip dengan Al-Qur’an itu, tidak dinamakan Al-Qur’an. Dan juga
terjemahan surat dan ayat al-qur’an dengan bahasa lain (bahasa selain arab),
tidak di pandang sebagai bagian dari Al-Qur’an, meskipun terjemahan itu
menggunakan bahasa yang baikdan mengandung makna yang dalam.
B.
Kehujjahan Al-Qur’an Sebagai Sumber
Hukum Islam Yang Utama.
Para Ulama’ sepakat
menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber pertama dan utama bagi Syari’at Islam,
termasuk hukum islam. dan menganggapnya al-qur’an sebagai hukum islam karena di
latar belakangi sejumlah alasan, dintaranya :
1.
Kebenaran Al-Qur’an
Abdul Wahab Khallaf mengatakan bahwa
“ kehujjahan Al-Qur’an itu terletak pada kebenaran dan kepastian isinya yang
sedikitpun tidak ada keraguan atasnya”. Hal ini sebagaimana firman Allah
SWT yang Artinya:
“Kitab (Al-Qur’an ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa” (Q. S. Al-Baqarah, 2 :2).
“Kitab (Al-Qur’an ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa” (Q. S. Al-Baqarah, 2 :2).
Berdasarkan ayat di atas yang
menyatakan bahwa kebenaran Al-Qur’an itu tidak ada keraguan padanya, maka
seluruh hukum-hukum yang terkandung di dalam Al-Qur’an merupakan Aturan-Aturan Allah
yang wajib diikuti oleh seluruh ummat manusia sepanjang masa hidupnya.
M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa
“seluruh Al-Qur’an sebagai wahyu, merupakan bukti kebenaran Nabi SAW sebagai
utusan Allah, tetapi fungsi utamanya adalah sebagai petunjuk bagi seluruh ummat
manusia.[2]
2.
Kemukjizatan Al-Qur’an
Mukjizat memiliki arti
sesuatu yang luar biasa yang tiada kuasa manusia membuatnya karena hal itu
adalah di luar kesanggupannya. Mukjizat merupakan suatu kelebihan yang Allah
SWT berikan kepada para Nabi dan Rasul untuk menguatkan kenabian dan kerasulan
mereka, dan untuk menunjukan bahwa agama yang mereka bawa bukanlah buatan
mereka sendiri melainkan benar-benar datang dari Allah SWT. Seluruh nabi dan
rasul memiliki mukjizat, termasuk di antara mereka adalah Rasulullah Muhammad
SAW yang salah satu mukjizatnya adalah Kitab Suci Al-Qur’an.
Al-Qur’an merupakan
mukjizat terbesar yang diberikan kepada nabi Muhammad SAW, karena Al-Qur’an
adalah suatu mukjizat yang dapat disaksikan oleh seluruh ummat manusia
sepanjang masa, karena Rasulullah SAW diutus oleh Allah SWT untuk keselamatan
manusia kapan dan dimana pun mereka berada. Allah telah menjamin keselamatan
Al-Qur’an sepanjang masa, hal tersebut sesuai dengan firman-Nya yangArtinya:
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Qur’an dan
sesungguhnya Kami tetap memeliharanya” (Q. S. Al-Hijr, 15:9).
Adapun beberapa bukti dari kemukjizatan Al-Qur’an, antara
lain:
1.
Di dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang berisi tentang
kejadian-kejadian yang akan terjadi di masa mendatang, dan apa-apa yang telah
tercantum di dalam ayat-ayat tersebut adalah benar adanya.
2.
Di dalam Al-Qur’an terdapat fakta-fakta ilmiah yang ternyata
dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan pada zaman yang semakin berkembang
ini.[3]
1.
Pandangan Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah
sependapat dengan jumhur ulama’ bahwa Al-Qur’an merupakan sumber hukum islam.
Akan tetapi Imam Abu Hanifah itu berpendapat bahwa Al-Quran itu mencakup
maknanya saja. Diantara dalil yang menunjukan pendapat Imam Abu Hanifah
tersebut, bahwa dia membolehkan shalat dengan menggunakan bahasa selain arab,
misalnya: Dengan bahasa Parsi walaupun tidak dalam keadaan Madharat.
Padahal menurut Imam Syafi’i sekalipun seseorang itu bodoh tidak di bolehkan
membaca Al-Qur’an dengan menggunakan bahasa selain Arab.
2.
Pandangan Imam Malik
Menurut Imam Malik,
hakikat al-Quran adalah kalam Allah yang lafadz dan maknanya berasal dari Allah
SWT . Sebagai sumber hukum islam, dan Dia berpendapat bahwa Al-Qur’an itu bukan
makhluk, Karena kalam Allah termasuk Sifat Allah. Imam Malik juga sangat
menentang orang-orang yang menafsirkan Al-Qur’an secara murni tanpa memakai
atsar, sehingga beliau berkata, “ seandainya aku mempunyai wewenang untuk
membunuh seseorang yang menafsirkan Al-Qur’an ( dengan daya nalar murni) maka
akan kupenggal leher orang itu,”.
Dengan demikian, dalam
hal ini Imam Malik mengikuti Ulama Salaf (Sahabat dan Tabi’in) yang membatasi
pembahasan Al-Qur’an sesempit mungkin karena mereka khawatir melakukan
kebohongan terhadap Allah SWT. Dan imam malik mengikuti jejak mereka dalam cara
menggunakan ra’yu.
Berdasarkan ayat 7 surat
Ali Imran, petunjuk Lafazh yang terdapat dalam Al-qur’an terbagi dalam dua macam yaitu:
·
Ayat Muhkamat
Muhkamat adalah ayat yang terang dan tegas
maksudnya serta dapat di pahami dengan mudah. Dan ayat Muhkamat disini
terbagi dalam dua bagian yaitu; Lafazh dan Nash.
Imam malik
menyepakati pendapat ulamak-ulamak lain bahwa lafad nash itu
(qoth’i) artinya adalah lafazh yang menunjukkan makna yang
jelas dan tegas (qoth’i) yang secara pasti tidak memiliki makna lain,
Sedangkan Lafadz Dhohir ( Zhanni ) adalah lafazh yang menunjukkan makna jelas, namun masih
mempunyai kemungkinan makna lain.
Menurut imam
malik keduanya, dapat dijadikan hujjah , hanya saja Lafazh Nash di
dahulukan dari pada Lafazh Dhohir . Dan juga menurut imam malik bahwa dilalah
nash termsuk qath’i, sedangkan dilalah zhahir termasuk Zhanni, sehingga
bila terjadi pertentangan antara keduanya, maka yang di dahulukan adalah
dilalah nash. Dan perlu di ingat adalah makna zhahir di sini adalah makna
zhahir menurut pengertian Imam Malik
·
Ayat-ayat Mutasyabbihat
Ialah
ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian yang tidak dapat di tentukan
artinya, kecuali setelah diselidiki secara mendalam.
3.
Pendapat Imam Syafi’i
Imam Syafi’i berpendapat
bahwa Al-Qur’an merupakan sumber hukum islam yang paling pokok, dan beranggapan
bahwa Al-Quran tidak bisa dilepaskan dari As-Sunnah karena hubungan antara
keduanya sangat erat sekali, Dalam artian tidak dapat di pisahkan. Sehingga
seakan akan beliau menganggap keduanya berada pada satu martabat, namun bukan
berarti Imam Syafi’i menyamakan derajat Al-Qur’an dengan Sunnah, Perlu di
pahami bahwa kedudukan As-Sunnah itu adalah sumber hukum setelah Al-Qur’an,
yang mana keduanya ini sama-sama berasal dari Allah SWT.
Dengan demikian tak
heran bila Imam Syafi’i dalam berbagai pendapatnya sangat mementingkan
penggunaan Bahasa Arab, misalkan dalam Shalat, Nikah dan ibadah-ibadah lainnya.
Beliau mengharuskan peguasaan bahasa Arab bagi mereka yang mau memahami dan mengistinbat
hukum dari Al-Qur’an, kami ulangi kembali bahwa pendapat Imam Syafi’i ini
berbeda dengan pendapat Abu Hanifah yang menyatakan bahwa bolehnya shalat
dengan menggunakan bahasa selain Arab. Misalnya dengan bahasa persi walaupun
tidak dalam, keadaan Madharat.
4.
Pandangan Imam Ahmad Ibnu Hambal
Imam Ibnu Hambal
berpendapat bahwa Al-Qur’an itu sebagai sumber pokok hukum islam, yang
tidakakanberubah sepanjang masa. Alqur’an juga mengandung hukum-hukum yang
bersifat GLOBAL (luas atau umum). Sehingga al-qur’an tidak bisa di pisahkan
dengan sunnah atau hadits, karna Sunnah ini merupakan penjelas dari alqur’an,
seperti halnya Imam As-Syafi’I, Imam Ahmad yang memandang bahwa Sunnah mempunyai
kedudukan yang kuat disamping Al-Qur’an sehingga tidak jarang beliau
menyebutkan bahwa sumber hukum itu adalah Nash tanpa menyebutkan
Al-Qur’an dahulu atau As-Sunnah dahulu tapi yang dimaksud Nash tersebut adalah
Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Dalam penafsian terhadap
Al-Quran Imam Ahmad betul betul mementingkan penafsiran yang datangnnya dari
As-Sunnah (Rosulullah SAW). Dan sikapnya dapat di klasifikasikan menjadi tiga :
1. Sesungguhnya
zhahir al-qur’an tidak mendahului as-sunnah.
2. Rosulullah saw.
Yang berhak menafsirkan al-qur’an, maka tidak ada seorangpun yang berhak
menafsirkan atau menakwilkan alqur’an, karna as-sunnah telah cukup menafsirkan
dan menjelaskannya.
3. Jika tidak di
temuan penafsiran yang berasal dari nabi, maka dengan penafsiran para
sahabatlah yang di pakai. Karna merekalah yang menyaksikan turunya al-qur’an
.dan mereka pula yang lebih mengetahui
as-sunnah, yang mereka gunakan sebagai penafsiran al-qur’an.
Menurut Ibnu Taimiah, Al-Qur’an
itu tidak di tafsirkan, kecuali dengan Atsar, namun dalam beberapa
pendapatnya, ia menjelaskan kembali bahwa jika tidak di temukan dalam hadits
Nabi, dan Qoul Sahabat, di ambial dari penafsiran para Tabi’in. (Abu Zahroh :
242-247)
C.
Petunjuk (Dilalah) Al-Qur’an
Kaum Muslimin sepakat
bahwa Al-Qur’an adalah sumber hukum Syara’. Merekapun spakat bahwa semua ayat
al-Qur’an dari segi wurut (kedatangan) dan Tsubut (penetapannya)
adalah qath’i. Hal ini karena semua ayatnya sampai kepada kita dengan
jalan mutawattir. Kalaupun ada sebagian sahabat yang mencantumkan
beberapa kata pada mushiaf-nya, yang tidak ada pada qiro’ah mutawatir,
hal itu hanya merupakan penjelasan dan penafsiran pada Al-Qur’an yang didengar
dari Nabi SAW. Atau hasil ijtihad mereka dengn jalan membawa nas mutlak pada muqayyad
dan hanya untuk dirinya sendiri. Hanya saja para penbahas berikutnya menduga
bahwa hal tersebut termasuk qiroat Khairu Mutawatir yang periwayatannya
tersendiri. Diantara para Sahabat yang mencantumkan beberapa kata pada
mushafnya itu adalah Abdullah Ibnu Mas’ud di mencantumkan kata Mutata Biatin
pada ayat 89 surah al-Ma’idah sehingga ayat tersebut pada mushaf-nya
tertulis :
فمن لم يجد فصيا م ثلا ثة ا يا م متتا بعا ت
Dan menambah
kata dzi ar-rohmi al—muharrami pada ayat 233, surat Al-Baqarah
sehingga ayat tertulis:
وعلى الوارث دى الرحيم المحرم
Ubai Ibnu Ka’ab mencantumkan kata Min Al-Ummi pada ayat 12 surat An-Nisa,
sehingga ayat tersebut tertulis pada mushaf-nya:
وان كان رجل يورث كلالة اوامراة وله اخ اواخت من الام
Namun, perlu di tegaskan bahwa hal tersebut
tidak di dapati dalam Mushaf Utsmani yang kita pakai sekarang ini.
Adapun di tinjau dari segi Dilalah-Nya, ayat-ayat Al-Qur’an itu
dapat di bagi dalam dua bagian;
a.
Nash yang Qath’i dilalah-nya
Yaitu
nash yang tegas dan jelas maknanya tdk bisa di takwil, tdk mempunyai makna yg
lain, dan tdk tergantung pd hal-hal lain di luar nash itu sendiri.Contoh yg
dapat dikemukakan di sini, adalah ayat yg menetapkankadar pembagian waris,
pengharaman riba , pengharaman daging babi,hukuman had zina sebanyak seratus
kali dera, dan sebagainya. Ayat ayatyg menyangkut hal hal tersebut, maknanya
jelas tegas dan menunjukkan arti dan maksud tertentu, dan dalam memahaminya tidak memerlukan
ijtihad. (Abdul Wahab Khalaf,1972;35)
b.
Nashyang Zhanni dilalah-nya
Yaitu
nash yg menunjukkan suatu makna yg dpt di-takwil ayau nash yg mempunyai makna
lebih dari satu, baik karena lafazdnya musytarak (homonim) atapun karena
susunan kata-katanya dapat dipahami dengan berbagai cara, seperti dilalah
isyarat-nya , iqtidha-nya, dan sebagainya.
Para ulama, slain
berbeda pendapat tentang nash Al-qur’an mengenai penetapan yg qath’i dan zhanni
dilalah, juga berbeda pandapat mengenai jumlah ayat yg termsuk qath’i atau
zhanni dilalah.
Imam Asy-syatibi
menegaskan behwa wujud dalil syara’ yg dengan sendirinya dapat menunjukkan
dilalah yg qath’i itu tidak ada atau sangat jarang. Dalil syara’ yg qath’i
tubut pun untnk menghasilkan dilalah yg qath’i masih bergantung pd premis-premis
yg seluruh atau sebagiannya zhanni . Dalil-dalil syara’ yg bergantung pd dalil
yg zhanni menjadi zhnni pula.(Asy-Syatibi,1975,1;35).
D.
Penjelasan Al-Qur’an Terhadap Hukum
Dan Alqur’an Sebagai Sumber Hukum.
1.
Ayat-ayat yang menjelaskan Hukum diantaranya:
Uraian al-Qur’an tentang
puasa Ramadhan, ditemukan dalam surat al-Baqarah: 183, 184, 185 dan 187. Ini
berarti bahwa puasa ramadhan baru diwajibkan setelah Nabi SAW tiba di Madinah,
karena ulama Al-Qur’an sepakat bahwa Surat al-Baqarah turun di Madinah. Para
sejarawan menyatakan bahwa kewajiban melaksanakan puasa ramadhan ditetapkan
Allah SWT pada 10 Sya’ban tahun kedua Hijriyah.
Allah swt berfirman:
Artinya: Hai orang-orang yang
beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang
sebelum kamu agar kamu bertakwa. (QS. Al-Baqarah: 183).
Ayat ini yang menjadi
dasar hukum diwajibkannya berpuasa bagi orang-orang yang beriman.
2.
Ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan persoalan Shalat:
a.
firman Allah SWT
Artinya: Sesungguhnya
shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang
beriman. (QS. An Nisa’:103).
Artinya: sesungguhnya
aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, Maka sembahlah Aku
dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. (QS. Thahaa: 14).
Artinya: Bacalah apa
yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al-kitab (Al Quran) dan dirikanlah
shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan
mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya
dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.(QS.
Al-Ankabut: 45).[5]
E.
Sistematika Hukum Dalam Al-Qur’an
Alqur’an Sebagai sumber
hukum yang utama, maka Al-Qur’an memuat
sisi-sisi hukum yang mencakup berbagai bidang. Secara garis besar Al-Qur’an
memuat tiga sisi pokok hukum yaitu:
Pertama, hukum-hukum I’tiqadiyah. Yakni hukum-hukum yang berkaitan dengan
kewajiban orang mukallaf, meliputi keimanan kepada Allah, Malaikat-malaikat,
Kitab-kitab, Rasul-rasul, hari Qiyamat dan ketetapan Allah (qadha dan qadar).
Kedua, hukum-hukum Moral/ akhlaq. Yaitu hukum-hukum yang berhubungan dengan
prilaku orang mukallaf guna menghiasi dirinya dengan sifat-sifat keutamaan/
fadail al a’mal dan menjauhkan diri dari segala sifat tercela yang menyebabkan
kehinaan.
Ketiga, hukum-hukum Amaliyah, yakni segala aturan hukum yang berkaitan dengan
segala perbuatan, perjanjian dan muamalah sesama manusia. Segi hukum inilah
yang lazimnya disebut dengan fiqh al-Qur’an dan itulah yang dicapai dan dikembangkan
oleh ilmu ushul al-Fiqh.
Hukum-hukum yang dicakup
oleh Nash al-Qur’an, garis besarnya
terbagi kepada tiga bagian, yakni:
1.
Hukum-hukum I’tiqodi, yaitu: hukum-hukum yang berhubungan
dengan akidah dan kepercayaan
2.
Hukum-hukum Akhlak, yaitu: hukum-hukum yang berhubungan
dengan tingkah laku, budi pekerti.
3.
Hukum-hukum Amaliyah, yaitu: hukum-hukum yang berhubungan
dengan perbuatan-perbuatan para mukalaf, baik mengenai ibadat , mu’amalah
madaniyah dan maliyahnya, ahwalusy syakhshiyah, jinayat dan uqubat, dusturiyah
dan dauliyah, jihad dan lain sebagainya.
Yang pertama menjadi
dasar agama, yang kedua menjadi penyempurna bagian yang pertama, amaliyah yang kadang-kadang disebut juga syari’at adalah
bagian hukum-hukum yang diperbincangkan dan menjadi objek fiqih. Dan inilah yang
kemudian disebut hukum Islam.[6]
BAB III
PENUTUP
A.
Komintar
Al-Qur’an merupakan
sumber hukum dalam Islam. Kata sumber dalam artian ini hanya dapat digunakan
untuk Al-Qur’an maupun sunnah, karena memang keduanya merupakan wadah yang
dapat ditimba hukum syara’, tetapi tidak mungkin kata ini digunakan untuk ijma’
dan qiyas karena memang keduanya merupakan wadah yang dapat dotimba norma
hukum. Ijma’ dan qiyas juga termasuk cara dalam menemukan hukum. Sedangkan
dalil adalah bukti yang melengkapi atau memberi petunjuk dalam Al-Qur’an untuk
menemukan hukum Allah, yaitu larangan atau perintah Allah.
B.
Saran –Saran
Untuk mendapatkan manfaat yang
sempurna dari Makalah yang penulis buat
ini, hedaknya Pembaca Memberikan
Kritik dan saran serta melakukan Pengkajian Ulang (diskusi) terhadap penulisan
sehingga penulis terhindar dari Kekeliruan.
DAFTAR PUSTAKA
o
Ushul Fiqih Prof. DR. Amir Syarifudin, Penerbit Zikrul
Hakim
o
Prof. Dr.
rachmat syafe’I M.A Ilmu ushul Fiqh untuk UIN, STAIN dan PTAIS pustaka setia
Bandung 2007
o
Mannaa’
Khaliil Al-Qattaan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa,
2007, Elektronik Book, “Kehujjahan Al-Qur’an” STAI Bani Saleh 2009
Elektonik Book “makalah Al-Qur’an sebagai sumber hukum” IAIN Walisongo Semarang.
Elektonik Book “makalah Al-Qur’an sebagai sumber hukum” IAIN Walisongo Semarang.
o
Prof.Abdul
Wahhab Khallaf. Ilmu Ushul Fiqh.Semarang:Dina Utama,1994
[1] Dikutip
dari kitab “Ilmu ushul Fiqh” Prof. DR. Rachmat Syafe’i. MA. Hal: 50
[2] Dikutip
dari “makalah Al-Qur’an sebagai sumber hukum” IAIN Walisongo Semarang
[3] dikutip dari “makalah Al-Qur’an
sebagai sumber hukum” IAIN Walisongo Semarang
[4] Dikutip
dari kitab “Ilmu ushul Fiqh” Prof. DR. Rachmat Syafe’i. MA.Hal: 51
[5] Dikutip
dari “Kehujjahan Al-Qur’an” STAI Bani Saleh 2009
[6] Dikutip
dari, “ilmu ushul fiqh”. Prof.Dr.Abdul Wahhab Khalaf
terimakasih makalahnya sangat membantu
BalasHapussyukran
BalasHapusmakasih sangat membantu
BalasHapussyukr katsr
BalasHapusTerima kasih atas makalahnya, ini sangat membantu kami dalam wawasan kami
BalasHapusKurang puas
BalasHapusBagus, tpi masih ada yg kurang
BalasHapusSyukron
BalasHapus